+ -

Pages

Monday, 3 October 2016

HUJAN DAWAI KOTA KAMI – Music Discussion


Selamat merayakan akhir pekan handai taulan..
Saya merasa ada sebuah kegembiraan yang terangkum cukup rapi dalam beberapa bulan terakhir, kegembiraan melihat giat yang cukup masif para pelaku militan skena musik di kota kecil ini, yang mulai banyak perubahan. Di tengah tragisnya dari segi visual kota, banyak pembangunan di sana sini. Entah dari sudut kota bahkan sampai penjuru kampung. Militan pemuda pemudi yang masif mencoba mengikuti perkembangan musik mereka nan eksis lalu lalang, ada kalanya pemuda disini sudah semakin mahir untuk menilai musik yang kalau boleh saya berkata, sesuatu yang selalu menawarkan peradaban baru. Entah dari gaya hidup, bahkan sampai mempengaruhi pola pikir. Ada kalanya mereka (dalam lingkup ini saya bilang di skena kota) juga mencemooh tentang perkembangan musik di televisi. Ah.. jawabannya hampir selalu saja sama, menawarkan hasrat untuk membangkang, dan bersumpah serapah tak jarang menjadi sebuah ejekan. Saat tengah maraknya musik melayu, sampai saat kini mulai bias, di ganti oleh trend girls band atau boys band yang mendadak menjadi headline di infotainment, bahkan menjadi santapan acara2 musik pagi. Selalu dengan nama yang sederhana, canda, dan tak jarang di paksakan. Dan saya sudahi, karena juga gak ada gunanya saya obrolin di lembar putih kosong ini, yang saya bingung mengisinya, tapi apa boleh buat, tenggat sudah datang, dan saya mencoba menjawab itikad baik untuk segera menyelesaikannya.

Oke, kembali masih dalam progresifitas skena kita. Entah ini berlebihan atau tidak, tapi sejatinya saya cukup melihat perkembangan yang signifikan. Banyak yang mulai murtad dari hobi mereka melakukan kongkow dengan kendaraannya atau bahkan pawai keliling kota dengan kelap kelip bahkan suara kenalpot brisik. Saat saya menjadi teringat beberapa bulan lalu, adalah acara super masif bentuk supremasi sekaligus selebrasi hari raya, karena saat itu bertepatan dengan perayaan idul fitri. Adalah rangkuman singkat eksistensi, munculnya sebuah ruang lingkup atau komunitas, yang kita selalu mudah mengatakannya, adalah para penggila musik indie. Tahun demi tahun yang cukup sulit bagi skena ini. Banyak band berdatangan, lalu satu persatu mulai bias, kembali lagi, bias lagi, begitu juga seterusnya. Mereka yang selalu susah mempropagandakan karyanya, mereka yang mencoba beradaptasi pada sesuatu yang baru, dan karena mereka yang selalu mempunyai pesona besar tentang bagaimana berkarya. Bagaimana mempertahankan hasrat untuk tetap menyala, selalu menyematkan tinggi harapan, dan berdoa untuk mencoba mengangkat magelang bisa lebih maju dalam musiknya. Menghiasi ayat ayat doa di sepanjang ibadah kita, apapun bentuknya itu.

Sampai saat ini, mereka yang masih terjaga,mereka yang masih menyimpan nafas memburu lewat beberapa Komunitas atau tongkrongan. Entah dari komunitas A – Z. Beberapa pertunjukan pun dari gigs murahan, sampai gigs berkelas telah kita amin i bersama. Hingga, saya berpikir kalau julukan bahwa kita selaku pencinta musik underground, sudah naik strata menjadi mayoritas, meninggalkan anggapan bahwa kita itu minoritas. Minoritas yang mulai menyemat di pensi2, mulai mengambil alih gigs pameran demi pameran clothingan setempat. Bahkan band mainstream pun tidak di beri tempat sedikitpun. Banyak sekali band yang terbentuk, kadang berwarna, tapi tak bisa dipungkiri juga banyak yang sekedar mengikuti kecintaan pasar. Well, so far, it’s oke. Selama individu masih mencoba menggali pengetahuan bin wawasan yang jitu. Dari buku sampai Tuhan Internet. Dari google hingga myspace. Fine. Hanya masalah waktu saja. Tak jarang juga, banyak yang mulai rajin rekaman, rajin melakukan pendokumentasian dalam bentuk apapun, yang menjadi rekam jejak manuver demi manuver yang pernah dilakukan. Sehingga tak urung band pun menjadi lebih gampang “ pamer” apa yang mereka punya. Entah dari gratisnya blog hingga sampai asiknya berseluncur di dunia maya dengan menggunakan akun bayar. Sejenak lupakan ritme-ritme festival yang selalu menawarkan stigma band band a la indo hits, hingga ribetnya Dream teather. Banyak sekali yang sudah lebih dari mampu untuk menawarkan tembang tembang apik ciptaan sendiri. Suatu perkembangan yang maju bukan?

Sebenarnya banyak sekali talenta yang seharusnya akan lebih Fame and Fortune, akan tetapi keterbatasan media regional yang acapkali menjadi  penghambat mereka untuk bermanuver lebih dalam mempropagandakan karya mereka. Mengingat keterbatasan apapun itu yang ada, sesaat sebelum tersadar ternyata kita juga masih dikota yang cukup brengsek untuk lebih dihargai (ketimbang seragam atau borjuis borjuis yang selalu menawrkan alternatif lewat kendaraaan mereka) see?? Tapi justru dalam keterbatasan ini, kita semakin sadar bahwa perlunya bantu membantu tanpa memperdulikan skena yang berbeda, membangun bersama lebih dari kata menghargai antar skena. Pendek kata, saya sadar, bahwa semakin majunya perkembangan musik “indie” dikota ini, semakin banyak kendala internal yang seharusnya mulai ditinggalkan. Sudah saatnya kita padu bersatu, jika kata Denny Sakrie musik itu adalah rasa, maka saya mencoba berasumsi apa itu musik, adalah sebuah rasa kepada media alternatif yang memang selalu layak untuk di konsumsi kepada setiap orang dari muda sampai tua, dari kaya maupun miskin. Dan apresiasi tentang kelokalan itu penting adanya. Apresiasi di tambah dengan segepok atensi spesial, entah dengan cara atau bentuk apapun itu. Begitu juga dengan media yang selalu menjadi pusatnya. Tak lupa, banyak sekali penempatan musik itu sendiri.

Saya mencoba mengambil satu contoh saat punk adalah counterculture, meminjam Stacey Thompson bahwa pelaku dalam komunitas secara historis adalah di pengaruhi 4 Hal, yaitu Musik, Fashion, Tongkrongan, dan Pemikiran atau Pergerakan. Seperti rukun-rukun dalam agama, dalam segmen Pemikiran kita dapat menggunakan musik sebagai Media Edukasi, media untuk saling berbagi, media untuk menggali sebuah pengertian, tentang apa sebenarnya yang mereka perjuangkan. Mari kita untuk tidak menutup diri kepada hal yang baru, kecuali pada Charlie st 12.

Rapatkan barisan, silahkan ambil suguhannya, sruput dulu kopi atau tehnya, mari kita dengarkan bagaimana teman kita bercerita tentang pengalaman dan pandangan terhadap musik, dan bertanyalah dengan lantang, atau bahkan kalian mau mencoba menambahkan? Enjoy, and feel free. Karena kalian sedang berada dalam bentuk kolektif kecil dari kami. Yang untuk kali ini kita menggunakan “Hujan Dawai Kota Kami” sebagai wadah bercerita.

Arief Yulindra Priyantoro
Magelang, 10 Desember 2011


5 Who Cares?: HUJAN DAWAI KOTA KAMI – Music Discussion Selamat merayakan akhir pekan handai taulan.. Saya merasa ada sebuah kegembiraan yang terangkum cukup rapi dalam beberapa bulan terak...

No comments:

Post a Comment

<