Selamat
merayakan akhir pekan handai taulan..
Saya merasa ada sebuah kegembiraan yang terangkum cukup rapi
dalam beberapa bulan terakhir, kegembiraan melihat giat yang cukup masif para
pelaku militan skena musik di kota kecil ini, yang mulai banyak perubahan. Di
tengah tragisnya dari segi visual kota, banyak pembangunan di sana sini. Entah
dari sudut kota bahkan sampai penjuru kampung. Militan pemuda pemudi yang masif
mencoba mengikuti perkembangan musik mereka nan eksis lalu lalang, ada kalanya
pemuda disini sudah semakin mahir untuk menilai musik yang kalau boleh saya
berkata, sesuatu yang selalu menawarkan peradaban baru. Entah dari gaya hidup,
bahkan sampai mempengaruhi pola pikir. Ada kalanya mereka (dalam lingkup ini
saya bilang di skena kota) juga mencemooh tentang perkembangan musik di televisi.
Ah.. jawabannya hampir selalu saja sama, menawarkan hasrat untuk membangkang,
dan bersumpah serapah tak jarang menjadi sebuah ejekan. Saat tengah maraknya
musik melayu, sampai saat kini mulai bias, di ganti oleh trend girls band atau
boys band yang mendadak menjadi headline di infotainment, bahkan menjadi
santapan acara2 musik pagi. Selalu dengan nama yang sederhana, canda, dan tak
jarang di paksakan. Dan saya sudahi, karena juga gak ada gunanya saya obrolin
di lembar putih kosong ini, yang saya bingung mengisinya, tapi apa boleh buat,
tenggat sudah datang, dan saya mencoba menjawab itikad baik untuk segera
menyelesaikannya.
Oke, kembali masih dalam progresifitas skena kita. Entah ini
berlebihan atau tidak, tapi sejatinya saya cukup melihat perkembangan yang
signifikan. Banyak yang mulai murtad dari hobi mereka melakukan kongkow dengan
kendaraannya atau bahkan pawai keliling kota dengan kelap kelip bahkan suara
kenalpot brisik. Saat saya menjadi teringat beberapa bulan lalu, adalah acara
super masif bentuk supremasi sekaligus selebrasi hari raya, karena saat itu
bertepatan dengan perayaan idul fitri. Adalah rangkuman singkat eksistensi,
munculnya sebuah ruang lingkup atau komunitas, yang kita selalu mudah
mengatakannya, adalah para penggila musik indie.
Tahun demi tahun yang cukup sulit bagi skena ini. Banyak band berdatangan, lalu
satu persatu mulai bias, kembali lagi, bias lagi, begitu juga seterusnya.
Mereka yang selalu susah mempropagandakan karyanya, mereka yang mencoba
beradaptasi pada sesuatu yang baru, dan karena mereka yang selalu mempunyai
pesona besar tentang bagaimana berkarya. Bagaimana mempertahankan hasrat untuk
tetap menyala, selalu menyematkan tinggi harapan, dan berdoa untuk mencoba
mengangkat magelang bisa lebih maju dalam musiknya. Menghiasi ayat ayat doa di
sepanjang ibadah kita, apapun bentuknya itu.
Sampai saat ini, mereka yang masih terjaga,mereka yang masih
menyimpan nafas memburu lewat beberapa Komunitas atau tongkrongan. Entah dari
komunitas A – Z. Beberapa pertunjukan pun dari gigs murahan, sampai gigs
berkelas telah kita amin i bersama. Hingga, saya berpikir kalau julukan bahwa
kita selaku pencinta musik underground, sudah naik strata menjadi mayoritas,
meninggalkan anggapan bahwa kita itu minoritas. Minoritas yang mulai menyemat
di pensi2, mulai mengambil alih gigs pameran demi pameran clothingan
setempat. Bahkan band mainstream pun tidak di beri tempat sedikitpun. Banyak
sekali band yang terbentuk, kadang berwarna, tapi tak bisa dipungkiri juga
banyak yang sekedar mengikuti kecintaan pasar. Well,
so far, it’s oke. Selama individu masih mencoba menggali pengetahuan bin wawasan
yang jitu. Dari buku sampai Tuhan Internet. Dari google
hingga myspace. Fine. Hanya masalah waktu saja. Tak jarang juga, banyak yang mulai
rajin rekaman, rajin melakukan pendokumentasian dalam bentuk apapun, yang
menjadi rekam jejak manuver demi manuver yang pernah dilakukan. Sehingga tak
urung band pun menjadi lebih gampang “ pamer” apa yang mereka punya. Entah dari
gratisnya blog hingga sampai asiknya berseluncur di dunia maya dengan
menggunakan akun bayar. Sejenak lupakan ritme-ritme festival yang selalu
menawarkan stigma band band a la indo hits, hingga ribetnya Dream teather.
Banyak sekali yang sudah lebih dari mampu untuk menawarkan tembang tembang apik
ciptaan sendiri. Suatu perkembangan yang maju bukan?
Sebenarnya banyak sekali talenta yang seharusnya akan lebih Fame
and Fortune, akan tetapi keterbatasan media regional yang acapkali
menjadi penghambat mereka untuk bermanuver lebih dalam mempropagandakan
karya mereka. Mengingat keterbatasan apapun itu yang ada, sesaat sebelum
tersadar ternyata kita juga masih dikota yang cukup brengsek untuk lebih
dihargai (ketimbang seragam atau borjuis borjuis yang selalu menawrkan
alternatif lewat kendaraaan mereka) see?? Tapi justru dalam
keterbatasan ini, kita semakin sadar bahwa perlunya bantu membantu tanpa
memperdulikan skena yang berbeda, membangun bersama lebih dari kata menghargai
antar skena. Pendek kata, saya sadar, bahwa semakin majunya perkembangan musik
“indie” dikota ini, semakin banyak kendala internal yang seharusnya mulai
ditinggalkan. Sudah saatnya kita padu bersatu, jika kata Denny Sakrie musik itu
adalah rasa, maka saya mencoba berasumsi apa itu musik, adalah sebuah rasa
kepada media alternatif yang memang selalu layak untuk di konsumsi kepada
setiap orang dari muda sampai tua, dari kaya maupun miskin. Dan apresiasi
tentang kelokalan itu penting adanya. Apresiasi di tambah dengan segepok atensi
spesial, entah dengan cara atau bentuk apapun itu. Begitu juga dengan media
yang selalu menjadi pusatnya. Tak lupa, banyak sekali penempatan musik itu
sendiri.
Saya mencoba mengambil satu contoh saat punk adalah counterculture,
meminjam Stacey Thompson bahwa pelaku dalam komunitas secara
historis adalah di pengaruhi 4 Hal, yaitu Musik, Fashion, Tongkrongan, dan
Pemikiran atau Pergerakan. Seperti rukun-rukun dalam agama, dalam segmen
Pemikiran kita dapat menggunakan musik sebagai Media
Edukasi, media untuk saling berbagi, media untuk menggali sebuah
pengertian, tentang apa sebenarnya yang mereka perjuangkan. Mari kita untuk
tidak menutup diri kepada hal yang baru, kecuali pada Charlie st 12.
Rapatkan barisan, silahkan ambil suguhannya, sruput dulu kopi atau
tehnya, mari kita dengarkan bagaimana teman kita bercerita tentang pengalaman
dan pandangan terhadap musik, dan bertanyalah dengan lantang, atau bahkan
kalian mau mencoba menambahkan? Enjoy, and feel free. Karena kalian sedang
berada dalam bentuk kolektif kecil dari kami. Yang untuk kali ini kita
menggunakan “Hujan Dawai Kota Kami” sebagai wadah bercerita.
Arief Yulindra Priyantoro
Magelang, 10 Desember 2011
Magelang, 10 Desember 2011

No comments:
Post a Comment