Sebenarnya, saya mempunyai ketertarikan secara personal ketika
beberapa waktu belakangan, melihat di jejaring pertemanan saya muncul sebuah Open
Submission, untuk menggagas buku “Membaca Magelang” yang sudah menginjak jilid
ke 3 nya. Buku yang beberapa tahun belakangan sempat saya baca edisi
pertamanya. First Impression-nya typical, hampir bisa dikatakan seragam. Mayoritas
berkutat dalam romantisme masa lalu dan segala tetek bengek haru biru ke-kuno-annya.
Jarang ditemui yang “geger” atau berbagi sesuatu yang baru. Cukup wajar. Kala
itu, mungkin diperkisaran 2012 an saya menjumpai buku Membaca Magelang dari
salah satu kawan yang kebetulan memang menjadi agenda pribadi saya,
mengumpulkan literasi yang berbau Magelang, untuk keperluan jurnal saya dan
beberapa kawan, Goni. Sebuah inisiatif kecil untuk bersenang – senang. Tujuannya
sih, menyematkan swearing ke dalam sebuah wacana, yang mungkin bisa diamini
bersama. Ha!
Membaca Magelang (literally), selalu menjadi agenda yang cukup
menyenangkan dikala jadwal rutin mengurusi cash and flow sudah cukup
membosankan, biasanya diselingi dengan sindiran atau “ngrasani”. Selalu
berujung sumpah serapah kepada oknum – oknum sarat kepentingan sehingga
menciptakan manuver manuver yang luput dari nilai nilai luhur budaya. Ha! Flashback
kebelakang, saya pernah terlibat dalam satu obrolan dengan salah satu kawan,
yang notabenenya adalah mantan jurnalis di salah satu Koran local Magelang. Ketika
kita menyepakati menyebut Magelang menjadi sebuah miniature Indonesia, lengkap
dengan beberapa sample samplenya. Entah itu hanya sekedar gurauan tapi cukup
untuk menstimulasi melihat Magelang di point of view tertentu, sehingga akan
selalu mengasyikan untuk dibahas detil, pun jika hanya menyentuh wilayah
asumsi. Secara personal beberapa alasan sederhana itulah, menjadi sebab
bagaimana saya mengkonsumsi dan memberi apresiasi tentang apa itu Magelang
dengan setting beberapa waktu belakang, menjadi sesuatu hal yang sebenarnya
sarat atensi.
Pemuda, dan Entitas Partikelir Kreatifnya.
Seakan menjadi
sakral, ketika melihat Magelang melalui poros tengah yang ditasbihkan menjadi
motorik atas berkembangnya suatu kota, yaitu pemuda dan entitasnya.
Pemuda, bisa dibilang
menjadi sebuah unit tersendiri yang harusnya mempunyai peran baik untuk dapat
memberikan satu dampak yang signifikan untuk kotanya, entah dari apa yang
mereka lakukan atau upayakan. Lalu, entah kenapa pemilihan judul Pemuda dan Entitas
Partikel Kreatifnya menjadi satu frase yang secara pribadi cukup seksi mewakili
Magelang hari ini.
Magelang, kita semua tau, merupakan satu dari beberapa kota yang menjadi predikat satelit, dari 2 kota “besar” yang bersebrangan. Antara Jogja dan Semarang. Kota yang bisa dikatakan sedang mendalami peran “berkembang” menengok dari beberapa sudut kota sedang mengalami tata pugar secara massif, gemar bersolek, yang sayang dalam beberapa misinya terlihat sebagai sesuatu yang gagal bangun, dikarenakan fasilitas yang terpugar atau yang mulai diupayakan tak bisa memberi dampak yang baik untuk perkembangan pemuda didalamnya. Inovasi dan perubahan dari berbagai entitas yang idealnya bisa tersupport dan berkembang, harus rela kehilangan arah, jalan ditempat, atau bahkan mundur teratur ketika melihat potensi yang dimiliki segelintir pemuda, tak mempunyai ruang yang bisa mereka jangkau, atau dibatasi karena kurang berkembangnya superstrukstur dan infrastruktur yang layak. Dan bisa diprediksi potensi dari mereka yang seharusnya terjaga kemudian luntur atau bahkan melakukan alternatif untuk hijrah / pindah kota, untuk mengeksplorasi lebih apa yang mereka yakini lebih bisa berkembang dikota lain.
Magelang, kita semua tau, merupakan satu dari beberapa kota yang menjadi predikat satelit, dari 2 kota “besar” yang bersebrangan. Antara Jogja dan Semarang. Kota yang bisa dikatakan sedang mendalami peran “berkembang” menengok dari beberapa sudut kota sedang mengalami tata pugar secara massif, gemar bersolek, yang sayang dalam beberapa misinya terlihat sebagai sesuatu yang gagal bangun, dikarenakan fasilitas yang terpugar atau yang mulai diupayakan tak bisa memberi dampak yang baik untuk perkembangan pemuda didalamnya. Inovasi dan perubahan dari berbagai entitas yang idealnya bisa tersupport dan berkembang, harus rela kehilangan arah, jalan ditempat, atau bahkan mundur teratur ketika melihat potensi yang dimiliki segelintir pemuda, tak mempunyai ruang yang bisa mereka jangkau, atau dibatasi karena kurang berkembangnya superstrukstur dan infrastruktur yang layak. Dan bisa diprediksi potensi dari mereka yang seharusnya terjaga kemudian luntur atau bahkan melakukan alternatif untuk hijrah / pindah kota, untuk mengeksplorasi lebih apa yang mereka yakini lebih bisa berkembang dikota lain.
Beberapa contoh
sudah mulai kentara, ketika ruang untuk bereksplorasi dalam beberapa
konsentrasi pemuda belum pernah secara penuh terbangun. Yang ada hanya hotel
mulai menjamur dibeberapa sudutnya, ritel modern yang pasti ada disetiap sisi
jalannya. Adalah hal hal yang mulai dikurangi garis batas pertumbuhannya. Lalu
pemuda dan potensinya? Hanya diberi keleluasaan untuk menjadi individu masa
depan yang disiapkan untuk mengkonsumsi? Jika menilik kembali fakta, letak
tingkat berkembangnya suatu kota apakah hanya ditilik dari beberapa hotel yang
berhasil dibangun, atau beberapa event yang sudah dan masih menjadi agenda? Jika
secara hemat saya, beberapa acara belakangan menyandang predikat butut dan
sasaran atensinya tak pernah
diperhatikan. Mutu tontonan dari hari kehari tak kian membaik, kualitasnya tak
kunjung menggembirakan. Yang jadi pertanyaan, kenapa selalu berporos pada
lingkaran dalam? Konsentrasi tak kunjung melebar.
Pembangunan yang
massif tentu pula mempunyai efek yang banyak. Untuk kemudian proses adaptasi
dengan beberapa perubahan yang baru, harus mulai juga diperhatikan. Dan ketika
respon sesuatu hal yang baru juga tak kunjung menemukan titik cerah. Mayoritas,
akan melakukan pengulangan yang sama, no
care. Hingga sesuatu yang seharusnya dilahirkan “baru” bisa dikatakan
nyaris nihil guna. Yang ada hanya dapat dinikmati beberapa golongan saja, alias
tidak merata. Bagaimana tidak, jika masih saja, beberapa entitas harus tetap
kucing kucingan dengan aparat atau preman setempat, hanya untuk bermain skate,
gambar jalan, pertunjukan music atau apapun atas nama kreatifitas.
Kita memang
tidak mempunyai posisi yang baik untuk “mengubah” diwilayah pengembangan
struktur kota. Bahkan bisa dikatakan mujur, jika entitas pemuda masih bisa mencari
posisi yang baik untuk mengisi agenda bersenang senang, mempertahankan
eksistensi. Menjadi bagian yang bisa mengakses ruang public adalah sesuatu yang
langka, apalagi tanpa harus diberi momok susah gerak untuk masalah birokrasi,
atau mencoba bersanding dengan agenda agenda bernilai besar yang selalu ingin
mendominasi, dari beberapa yang berkepentingan, entah pencalonan si A, si B,
atau apapun hingga beberapa ceremonial dadakan mulai digeber dimana mana, pun
penunggangan sana sini demi mulusnya agenda. Ha! Salah satu contoh yang masih
hangat (sudah menjadi rahasia umum) saat minggu lalu – saat tulisan ini dibuat –
terdapat sebuah demo dijalan. Motifnya standar persaingan, partisipannya
diadakan atas dasar bekal 20 ribu dan nasi bungkus, ironisnya, partisipannya
mahasiswa kampus kampus yang seharusnya melahirkan generasi yang oke, jika
kurang tepat memberi predikat kritis. Lalu, apa yang akan diharapkan?
Peran
pemerintah sebagai regulator, fasilitator, mengembangkan kebijakan public,
sarana dan prasarana yang bisa di manfaatkan oleh masyarakat terbuka, harusnya
mulai ditengok di wilayah yang krusial saat ini. Inovasi dan perubahan maupun
perbaikan kondisi yang idealnya bisa kita kembangkan yang melibatkan potensi,
harusnya masuk dalam 1 strategi pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, ya
agar perubahan dapat terjadi.
Pun entitas
diwajibkan mempunyai kemampuan kritis dan kepercayaan diri untuk membentuk dan
menyuarakan hak dan kewajiban masing masing untuk membaca, memahami, dan
mengubah pikiran.
Kemudian kerja
kolaborasi antara pelaku dan pemerintah akan sangat apik jika melintaskan
banyak sector, apapun itu. Pemerintah – institusi public – sector privat –
masyarakat. Sehingga apa yang terbangun akan mencapai titik maksimalnya. Dan
diharapkan akan mensupport segala tetek bengek yang hidup didalamnya (kota).
Pun diimbangi dengan direktori yang apik, mapping yang apik pun harus segera
mungkin digaspol. Untuk kemudian kemajemukan suatu kota bisa dilihat dari
berkembangnya komunitas, banyaknya ruang yang digunakan untuk berbagi, maupun
acara acara menarik yang bisa dinikmat seluruh masyarakat. Arus yang kali ini
harus segera mungkin dibentuk unit reaksi cepatnya.
Dan semoga
Membaca Magelang, menjadi salah satu agenda apik, yang dapat terjaga nyala
apinya. Tapi, bukankah ada juga jargon, “Teruslah bekerja, jangan pernah
berharap pada Negara”. Ya, kalo saya sih lebih sepakat itu. Ha! God speed
y’all!
Arief Yulindra Priyantoro
Magelang, 7 April 2015
No comments:
Post a Comment